keajaiban lailatul qadr
Mungkin baik untuk diketahui bahwa
lailatul qadr bisa dilihat. Hal tersebut terjadi terhadap siapapun di
antara hamba-hamba-Nya yang Allah kehendaki.
Lailatul qadr tersebut bisa dilihat
dengan mata kepala, yaitu melalui tanda-tandanya, yang akan diterangkan
nanti, insya Allah. Selain itu, lailatul qadr juga bisa dilihat di dalam
mimpi sebagaimana yang dijelaskan dalam sejumlah hadits dan telah
terkisahkan dalam sejarah hidup kaum salaf.
Dalam pembahasan sebelumnya, telah berlalu pula hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau berkata, “Seorang lelaki melihat (dalam mimpi) bahwa lailatul qadr (turun) pada malam kedua puluh tujuh. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
أَرَى رُؤْيَاكُمْ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَاطْلُبُوهَا فِي الْوِتْرِ مِنْهَا
‘Saya melihat mimpi-mimpi kalian
(bahwa lailatul qadr berada) pada sepuluh malam terakhir. Carilah (malam
itu) pada malam-malam ganjil (di antara sepuluh malam) tersebut.’.”[1]
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أَيْقَظَنِيْ بَعْضُ أَهْلِيْ فَنُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْغَوَابِرِ
“Lailatul qadr telah diperlihatkan
kepadaku, tetapi sebagian istriku membangunkanku maka saya pun dibuat
lupa terhadap (malam) itu. Oleh karena itu, carilah (lailatul qadr) pada
sepuluh malam yang tersisa.” [2]
Selain itu, dalam hadits lain, dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
beri’tikaf pada sepuluh malam pertama dari Ramadhan, kemudian
beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan dari Ramadhan dalam sebuah
kubah turkiyah, yang puncak (kubah) itu (tertutup) oleh tikar. Maka,
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengambil tikar itu dengan tangannya, kemudian menyingkirkan (tikar) itu ke sudut kubah. Lalu, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam memunculkan kepalanya untuk berbicara kepada manusia sehingga mereka mendekat. Selanjutnya, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّيْ
اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ
اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِيْ إِنَّهَا فِي
الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ
فَلْيَعْتَكِفْ
‘Sesungguhnya saya beri’tikaf pada sepuluh malam pertama (guna) mencari malam (Al-Qadr)
ini. Kemudian, saya beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan, lalu
saya tiba (pada akhir dari sepuluh malam tersebut) maka dikatakan
kepadaku bahwa (lailatul qadr) itu berada pada sepuluh malam terakhir.
Barangsiapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf, silakan dia
beri’tikaf.’
Oleh karena itu, manusia pun beri’tikaf bersama beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنِّيْ أُرِيتُهَا لَيْلَةَ وِتْرٍ وَأَنِّيْ أَسْجُدُ صَبِيحَتَهَا فِي طِينٍ وَمَاءٍ
‘Sesungguhnya, saya melihat
(lailatul qadr) itu pada malam ganjil, dan sesungguhnya, pada pagi hari,
saya sujud di tanah dan air.’
Oleh karena itu, pada pagi hari dari malam kedua puluh satu, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam
berdiri untuk mengerjakan shalat Shubuh, sementara langit telah
menumpahkan hujan, yang membuat air hujan menetes dari atas masjid
sehingga terlihatlah tanah dan air. Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam keluar ketika selesai mengerjakan shalat Shubuh, sementara, pada dahi dan ujung hidung beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam, terdapat tanah dan air. Oleh karena itu, itu adalah malam kedua puluh satu dari sepuluh malam terakhir.”[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh
berkata, “Terkadang Allah menyingkap (lailatul qadr) untuk sebagian
manusia (ketika dia berada) dalam (keadaan) tertidur maupun terjaga
sehingga dia melihat cahaya-cahaya (lailatul qadr) atau melihat orang
yang berkata kepadanya, ‘Ini adalah lailatul qadr,’ dan terkadang
(Allah) membuka hatinya dengan musyâhadah ‘penyaksian’ yang membuat perkara itu menjadi jelas.”[4]
Imam An-Nawawy rahimahullâh
berkata, “Ketahuilah bahwa lailatul qadr bisa dilihat oleh siapapun di
antara anak Adam yang Allah kehendaki pada setiap tahun pada (bulan)
Ramadhan sebagaimana yang dijelaskan secara gamblang dalam hadits-hadits
dan berita-berita orang-orang shalih. Penglihatan mereka terhadap
lailatul qadr adalah lebih banyak daripada sesuatu yang bisa terbilang.”[5]
Ibnul Mulaqqin rahimahullâh berkata, “Yang ma’ruf adalah bahwa malam (Al-Qadr) ini bisa dilihat secara hakikat.”[6]
Adapun ucapan Al-Muhallab bin Abi Shufrah rahimahullâh bahwa lailatul qadr ini tidak mungkin dilihat secara hakiki, itu bukanlah ucapan yang bisa dijadikan sandaran.
Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar